Minggu, 14 Juli 2013

Baekje






 Baekje (16 SM-660 M) adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, menguasai wilayah sebelah barat daya Semenanjung Korea. Baekje mendeklarasikan negaranya adalah keturunan dari Buyeo.
Kerajaan Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 dari Jumong, raja pendiri Goguryeo. Baekje beribukotakan di Wiryeseong, Seoul saat ini. Puncak keemasan Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang. Baekje runtuh tahun 660 setelah dikalahkan oleh aliansi Silla dan Dinasti Tang, setelah itu digabungkan ke dalam wilayah kekuasaan Silla Bersatu.

Berdasarkan babad Korea Samguk Sagi, Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Raja Onjo yang memimpin sebagian kecil warga Goguryeo menuju selatan Semenanjung Korea, tepatnya di wilayah propinsi Jeolla saat ini. Berdasarkan catatan sejarah Tiongkok, San Guo Zhi, pada masa Samhan, salah satu wilayah Konfederasi Mahan ada yang bernama Baekje.

Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian Baekje. Jumong meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut untuk mendirikan Goguryeo . Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di Goguryeo. Ia mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo , yaitu Onjo dan Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo , Jumong langsung menggelarinya sebagai putra mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang budak.

Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang Hanam) dan mendirikan kerajaan yang disebut Sipje ("Sepuluh Budak"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon). Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, namun Onjo menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan :"Baekje" atau "Seratus Budak".

Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (Baekje pada awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan ibukota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru memindahkan ibukotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini.
Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagian Mahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan.

Dalam masa pemerintahan Raja Goi tahun 234-286, Baekje menjadi kerajaan seutuhnya. Babad Jepang, Nihon Shoki menyebutkan ekspansi Baekje mencapai wilayah Konfederasi Gaya di lembah Sungai Nakdong di sebelah tenggara semenanjung Korea. Rekaman sejarah Tiongkok pertama menyebutkan Baekje sebagai sebuah kerajaan adalah pada tahun 345. Misi diplomatik pertama dari Baekje yang mencapai Jepang berdasarkan Nihon Shoki adalah pada tahun 367.

Raja Geunchogo (berkuasa dari 346-375) menyatukan berbagai negara bagian Konfederasi Mahan serta memperluas teritorinya ke utara melawan Goguryeo. Dalam masa pemerintahannya wilayah Baekje meliputi wilayah Korea sebelah barat, dan pada tahun 371 pernah mengalahkan Goguryeo dalam perang di Pyongyang. Baekje juga tercatat pernah menjalin hubungan dagang dengan Goguryeo , mengadopsi kebudayaan dan teknologi Tiongkok, serta menganut agama Buddha pada tahun 384.

Baekje yang mempunyai armada laut yang kuat, menjalin hubungan baik dengan pemimpin Jepang pada zaman yamato. Baekje mentransfer tulisan hanja, agama Buddha, kemampuan membuat tembikar, upacara penguburan dan berbagai bentuk kebudayaan lain kepada Jepang melalui bangsawan, seniman, ahli, dan pendeta Buddhanya.

Ibukota Baekje pindah ke Ungjin (sekarang Gongju) dari tahun 475-538. Hal ini disebabkan perang dengan Goguryeo yang menyebabkan Wiryeseong jatuh ke tangan Goguryeo . Nihon Shoki menyebutkan bahwa Ungjin diberikan oleh kaisar Jepang kepada Raja Munju, yang menunjukkan bahwa wilayah ini dikuasai oleh Jepang (terletak di Korea). Ungjin terletak di dalam wilayah pegunungan, sehingga terisolasi dari dunia luar. Pada periode ini Baekje membentuk aliansi bersama Silla untuk melawan Goguryeo.

Periode Sabi berlangsung dari tahun 538-660, saat tahun 538 Raja Seong memindahkan lagi ibukota ke Sabi (saat ini kabupaten Buyo). Masa ini Baekje berkembang pesat, dan secara resmi nama lainnya adalah Nambuyo (Buyo Selatan), yang diambil dari Kerajaan Buyo, asal muasal dari Baekje.
Raja Seong mempererat hubungan dengan Tiongkok dalam bidang perdagangan dan diplomasi selama abad ke-6 dan ke-7. Sementara itu, hubungan dengan Silla semakin merenggang.

Pada than 660, tentara aliansi Silla dan Dinasti Tang menyerang Baekje. Kota Sabi jatuh ke tangan Silla, sementara Raja Uija dan putranya diasingkan ke Tiongkok. Beberapa anggota kerajaan lain melarikan diri ke Jepang. Sisa-sisa warga Baekje berupaya mengadakan pergerakan kebangkitan di dalam kekuasaan aliansi Silla dan Tang yang memiliki tentara mencapai 130.000 orang. Jenderal Boksin menunjuk pangeran Buyo Pung (putra Raja Uija yang selamat) sebagai raja baru Baekje. Baekje meminta pertolongan pada Pangeran Naka no Ōe (yang nanti menjadi Kaisar Tenji) dari Jepang. Pangeran Naka no Ōe mengirimkan Abe no Hirafu, seorang gubernur propinsi Koshi ke Baekje.

Pada tahun 663, sisa-sisa tentara Baekje bergabung dengan tentara Jepang dalam pertempuran di atas air melawan Silla dalam Perang Baekgang. Tang juga mengirimkan 7000 tentara dan 170 kapal perang. Baekje menderita kekalahan setelah terjadi 5 kali pertempuran di sungai Geum selama bulan Agustus tahun 663.

Raja Goi pertama kali menerapkan sistem patrilineal yang melestarikan suksesi kerajaan.
Pada awal periode Baekje, Hae dan Jin adalah dua klan yang berpengaruh, sebagian besar ratu berasal dari kedua klan ini dan suksesi ini berlangsung dalam waktu yang lama. Kemungkinan besar klan Hae adalah klan yang menguasai tampuk kerajaan sebelum digantikan oleh klan Buyo. Kedua klan ini kemungkinan juga berasal dari Kerajaan Buyo di utara. Klan Hae dan Buyo bersama 7 klan yaitu Sa, Yeon, Hyeop, Jin, Guk, Mok, dan Baek adalah klan-klan kuat pada masa Sabi.

Pegawai kantor kerajaan dibagi ke dalam 16 ranking, 6 orang anggota pertama dari ranking membentuk sebuah kabinet, dengan pemimpin dipilih setiap 6 tahun sekali. Dalam ranking Sol, pegawai pertama (Jwapyeong) sampai ke-6 (Naesol) bertanggung jawab dalam urusan politik, adminstrasi, dan militer. Dalam tingkat Deok, pegawai ke-7 (Jangdeok) sampai ke-11 (Daedeok) mungkin ditugaskan dalam banyak bidang, sedangkan tingkatan Mundok, Mudok, Jwagun, Jinmu dan Geuku bertanggung jawab sebagai administrator kemiliteran.

Baekje didirikan oleh imigran dari Goguryeo yang berbicara bahasa Buyo, yang masih berhubungan dengan bahasa kerajaan Gojoseon dan Kerajaan Buyeo. Sedangkan rakyat Samhan (yang pernah menguasai Baekje) kemungkinan berbicara dalam bahasa yang sama namun mempunyai dialek atau variasi bahasa berbeda dengan bahasa Buyo, karena nenek moyangnya berasal dari tempat yang sama, namun orang Samhan sudah datang ke selatan terlebih dahulu.

Seniman Baekje mengadopsi budaya Tionghoa dan menyesuaikannya menjadi tradisi yang unik. Hasil karya seni Baekje sangat dipengaruhi oleh agama Buddha. Keindahan seni Baekje terlukis dalam Senyum Baekje yang terdapat pada banyak karya seni dan patung Buddha. Pada masa Sabi pada tahun 541, banyak seniman dari Tiongkok (Dinasti Liang) dikirim ke Baekje, sehingga semakin memperluas pengaruh Tiongkok pada kebudayaan Korea. Namun, pengaruh asli Baekje tidak hilang begitu saja. Makam raja Muryeong (berkuasa 501-523) walaupun dimodelkan dari Tiongkok namun tidak menghilangkan tradisi asli Baekje. Dalam makam tersebut ditemukan ornamen khas Baekje seperti mahkota, ikat pinggang emas, dan giwang emas. Karya seni khas Baekje yang lain adalah desain genting batu bebentuk lotus, pola batu bata yang menjalin, lekukan dalam gaya keramik, bentuk epitaph yang elegan, ukiran-ukiran Buddha, pagoda, pembakar dupa dan sebagainya.
Sedikit yang diketahui mengenai musik Baekje, namun, musisi-musisinya pernah dikirim ke Tiongkok pada abad ke-7 untuk belajar.

Pada tahun 372, Raja Geunchogo membayar upeti kepada Dinasti Jin di Tiongkok yang terletak di lembah sungai Yangtze. Setelah kejatuhan Jin dan berdirinya Dinasti Song pada tahun 420, Baekje kembali mengirimkan utusan untuk berdagang barang-barang kultural dan teknologi Tiongkok.
Baekje mengirimkan utusan ke Wei Utara pada tahun 472 untuk pertama kalinya, dan Raja Gaero meminta bantuan militer guna melawan Goguryeo. Raja Muryeong dan putranya, Raja Seong juga mengirimkan utusan-utusannya ke Dinasti Liang beberapa kali guna menerima gelar kehormatan.
Dalam pengaruh budaya, makam Raja Muryeong dibuat berdasarkan gaya makam Liang.

Walau kontroversial, beberapa teks kuno Tiongkok dan Korea menunjukkan bahwa wilayah teritori Baekje juga mencakup bagian-bagian dari daratan Tiongkok.[2][3][4][5]
Menurut teks Tiongkok, Kitab Song,“Goguryeo menduduki Liaodong dan Baekje menduduki wilayah Liaoxi (kini Tangshan, Hebei); daerah yang dikuasai Baekje bernama Ditrik Jinping, Propinsi Jinping.”[6] Menurut Kitab Jin mengenai Murong Huang, menyebutkan bahwa aliansi Goguryeo, Baekje dan Xianbei melakukan peperangan. Babad Goryeo Samguk Sagi menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada masa Raja Micheon dari Goguryeo (309-331).

Menurut Kitab Liang, “Pada masa Dinasti Jin (265-420), Goguryeo menduduki Liaodong, dan Baekje menduduki Liaoxi dan Jinping, mendirikan propinsi-propinsi Baekje.”

Kitab Zizhi Tongjian, yang ditulis Sima Guang (1019-1086) dari Dinasti Song (960-1279), menyebutkan bahwa tahun 346, Baekje menyerang negeri Buyeo, yang berada di Lushan, dan menyebabkan penduduk negeri itu mengungsi ke sebelah barat negeri Yan.Tahun itu merupakan masa pemerintahan Raja Geunchogo (346-375).

Penjelasan yang sama dari Kitab Qi dan Zizhi Tongjian, menyebutkan bahwa Dinasti Wei Utara (386-534) menyerang Baekje dengan 100 ribu orang tentara pada tahun 488, namun dapat dipatahkan oleh Baekje. Catatan ini juga dijelaskan di Samguk-sagi, yaitu terjadi pada masa Raja Dongseong (tahun 488). Karena tidak mungkinnya pasukan Wei melakukan serangan ke Baekje tanpa melewati wilayah Goguryeo (semasa Raja Jangsu) di semenanjung Korea bagian utara, kemungkinan perang tersebut terjadi di wilayah Baekje di daratan Tiongkok (Liaoxi).

Kitab Qi juga menyebutkan pada tahun 495, pemimpin Baekje, Raja Dongseong meminta gelar kehormatan untuk para jenderal yang berjasa menumpas serangan Wei kepada Dinasti Qi Selatan. Qi Selatan memberi gelar sesuai dengan daerah-daerah di propinsi Baekje, seperti Guangling, Qinghe, Chengyang, dan lainnya.
Bagian Teritori dari teks Mǎnzhōu Yuánliú Kǎo (满洲源流考, "Pertimbangan Asal Manchu") juga menyebutkan tentang wilayah teritori Baekje, dengan jelas menuliskan bagian dari Liaoxi:

Perbatasan dari Baekje dimulai dari Guangning dan Jiyi (kini) di wilayah barat laut dan melintasi laut di arah timur sampai wilayah Joseon yakni Hwanghae, Chungcheong, Jeolla dan sebagainya. Dari timur ke barat, teritori Baekje sempit, panjang dari utara ke selatan. Lalu jika seseorang melihat dari wilayah Baekje, dari Liucheng dan Beiping, Silla terletak di sebelah tenggara Baekje, namun jika seseorang melihat dari Gyeongsang dan Ungjin di Baekje, Silla terletak di timur lautnya. Wilayah Baekje juga berbatasan dengan wilayah Mohe di utara. Ibukotanya memiliki 2 kastil di 2 wilayah berbeda di barat dan timur. Kedua kastil disebut “Goma.” Kitab Song menyebutkab bahwa wilayah Baekje di Tiongkok dinamakan distrik Jinping dari Propinsi Jinping. Tong-gao menyebutkan bahwa propinsi Jinping terletak di antara Liucheng dan Beiping pada masa Dinasti Tang.

Maka, salah satu ibukota Baekje terletak di Liaoxi dan satunya berada di semenanjung Korea. Barulah pada masa Kaisar Wu dari Liang, Baekje memindahkan ibukotanya ke semenanjung Korea.
Baik Kitab Sejarah Lama dan Baru Dinasti Tang menyebutkan bahwa wilayah kekuasaan Baekje lama telah diserap oleh Silla dan Balhae.

 Jika wilayah Baekje hanya terbatas pada barat laut semenanjung Korea saja, maka tidak mungkin bagi Balhae untuk menyerap wilayah-wilayah Baekje. Ilmuwan ternama Silla Choi Chi-won (857-?) menuliskan bahwa “Goguryeo dan Baekje pada masa keemasannya memiliki militer yang sangat kuat yang mencapai satu juta orang, dan menginvasi negeri Wu dan Yue di selatan dan negeri You, Yan, Qi, dan Lu di sebelah utara daratan Tiongkok, membuat gangguan besar bagi dinasti-dinasti Negeri Tengah (Tiongkok).”
Berdasarkan catatan-catatan sejarah ini, Baekje kemungkinan memiliki wilayah Liaoxi lebih dari 100 tahun lamanya. Karena berkonflik dengan Goguryeo dan Silla, Baekje (diterjemahkan Kudara dalam bahasa Jepang) menjalin hubungan yang dekat dengan Jepang. Menurut babad Korea Samguk Sagi, Baekje dan Silla mengirimkan pangeran mereka ke Wa (Jepang) sebagai sandera. Sebagai balasannya, Jepang memberi bantuan militer.

Samguk Sagi dan Samguk Yusa menjelaskan bahwa beberapa keturunan keluarga kerajaan dan bangsawan Baekje sangat dihormati istana kekaisaran Jepang. Yamato mendapat pengaruh kuat dari Baekje dan menjalin hubungan baik dengan daratan Korea, seperti pada masa Kaisar Yomei, ketika didirikannya kuil Buddha Horyuji, sehingga Buddhisme dari Korea perlahan mengalir ke Jepang. Diketahui juga bahwa Raja Muryeong dari Baekje, raja ke-25, ternyata dilahirkan di Jepang.
Teks sejarah Tiongkok Kitab Sui dari Dinasti Sui menyebutkan bahwa Baekje mendapat bantuan militer dari Jepang pada perjanjian sungai Baekchon.

Babad Nihon Shoki yang kontroversial menyebutkan bahwa Maharani Jingu menerima upeti dan membangun aliansi dengan raja-raja Baekje, Silla, dan Goguryeo. Lebih jauh, Nihon Shoki juga menuliskan bahwa Konfederasi Gaya adalah permukiman Yamato. Tidak satupun catatan sejarah Korea atau Tiongkok yang pernah menyebutkan bahwa Yamato pernah menduduki Korea.

Nihon Shoki memberi detail tentang tanggal invasi Silla ke Baekje pada akhir abad ke-4. Namun, pada waktu ini Jepang adalah negeri konfederasi dari penguasa-penguasa lokal, sementara itu Tiga Kerajaan Korea sudah secara penuh berdiri. Rasanya sangat tidak mungkin bahwa negeri yang baru berkembang seperti Yamato dapat menerima upeti dan memiliki kekuasaan di atas Baekje, yang diketahui sangat memengaruhi mereka, apalagi Goguryeo, kekuatan terbesar saat itu. Nihon Shoki dianggap sebagai sumber informasi yang tidak dapat dipercaya karena penuh dengan pernyataan dugaan dan cerita legenda.

Beberapa sejarawan Jepang menerjemahkan Prasasti Gwanggaeto yang bertarikh tahun 414 Masehi yang didirikan Raja Jangsu dari Goguryeo, sebagai penjelasan dari invasi Jepang pada bagian selatan semenanjung Korea. Yang lain mengklaim bahwa prasasti itu telah dimodifikasi dan bahwa tulisan mengenai kehadiran Jepang di daratan Asia telah ditambahkan oleh tentara Jepang yang menemukan prasasti kuno itu pada tahun 1910, bersamaan dengan dimulainya penjajahan Korea oleh Jepang. Beberapa sejarawan RRT dan Jepang yang mempelajarinya, tidak dapat percaya informasi yang tertulis di prasasti, akibat kerusakan yang disengajakan.

Beberapa anggota kerajaan dan bangsawan Baekje sudah tinggal di Jepang bahkan sebelum kerajaan tersebut mengalami kejatuhan tahun 660. Anggota keluarga kerajaan terdahulu pada awalnya dianggap sebagai“tamu asing” (蕃客) dan tidak diizinkan memasuki sistem politik kekaisaran selama beberapa waktu.
Atas respon dari permintaan Baekje, pada tahun 663, Jepang mengirimkan jenderal Abe no Hirafu bersama pangeran Buyeo Pung (Jepang: Hōshō), seorang putra Raja Uija yang tinggal di Jepang dan 20 ribu orang pasukan dan seribu buah kapal untuk membantu memulihkan Baekje.
Usaha ini gagal dalam Pertempuran Baekgang, dan pangeran Buyeo Pung melarikan diri ke Goguryeo. Berdasarkan Nihon Shoki, 400 buah kapal Jepang hancur dan hanya setengah dari pasukan yang kembali ke Jepang.

Kembalinya para pasukan Jepang diikuti banyak pengungsi dari Baekje. Adik laki-laki Buyeo Pung, Sun-gwang (Jepang; Zenkō) menggunakan nama keluarga Kudara no Konikishi ("Raja Baekje";百濟王) yang diberikan oleh Kaisar Kammu. Keturunan kerajaan Baekje di Jepang disebut keluarga/klan Kudara. Menurut kitab Shoku Nihongi, ibunda dari Kaisar Kammu, Takano no Niigasa (高野新笠, ?–790), adalah keturunan langsung Raja Muryeong dari Baekje. Kaisar Kammu menganggap klan Kudara no Konikishi sebagai “kerabat dari pernikahan.”
Banyak klan di Jepang yang merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Baekje seperti klan Ouchi, klan Sue, dan sebagainya.

Baekje bangkit lagi pada periode Tiga Kerajaan Korea Zaman Akhir, saat Silla Bersatu jatuh. Pada tahun 892, jenderal Gyeon Hwon mendirikan Hubaekje (“Baekje Selanjutnya”), Wansan (dekat Jeonju). Hubaekje digulingkan pada tahun 936 oleh Taejo dari Goryeo.

Pada masa sekarang, warisan Baekje dapat ditemukan di daerah barat laut semenanjung Korea, khususnya meliputi propinsi Chungcheong Selatan dan Jeolla. Berbagai karya budaya Baekje yang berharga sampai sekarang masih dipelihara antara lain pembakar dupa, kuil-kuil Buddha, patung dan ukiran Buddha, mahkota, perhiasan dan sebagainya. Beberapa harta nasional Jepang yang ditemukan di kuil-kuil Buddha dan museum-museum Jepang adalah warisan karya seni dari Baekje.



Sumber : wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar